Beranjak dari ruang benderang, lalui waktu tanpa batas, meski bersekat...
Merobohkan tanpa menjatuhkan...
Memuliakan tanpa memuji...

03 July 2008

HANCURNYA HUTAN DI JAWA

Saat ini negara Indonesia memiliki 10 persen hutan tropis dunia yang masih tersisa. Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan di Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya penyusutan dan kerusakan hutan tropis secara besar-besaran.

Kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, dan kerusakan ini bertambah angkanya pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan yang tertinggi di dunia.

Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan yang ada di Indonesia telah di rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan.

Di Jawa, pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18 hutan alam yang ada, diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Namun pada akhir tahun 1980-an, luas penutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau sekitar 7 persen dari luas total pulau Jawa.

Kerusakan hutan yang terjadi di Jawa paling parah adalah ketika tahun 1997-1998, pembabatan hutan terjadi dimana-mana. Pembabatan hutan yang terjadi banyak di lakukan oleh oknum masyarakat maupun pemerintah. Pohon yang berumur ratusan tahun telah habis dalam waktu beberapa menit saja.

Kini bencana mulai di rasakan oleh masyarakat yang ada di Jawa, mulai dari banjir bandang, angin topan, punahnya beberapa spesies, defisit air, kekurangan makanan dan entah bencana apa lagi yang akan datang. Kerusakan ini secara tidak langsung telah berdampak pada perubahan tatatan sosial, ekologi, ekonomi maupun politik.

Solusi telah banyak dilakukan oleh beberapa pihak seperti pemerintah, lsm-lsm, kaum intelektual, maupun dari masyarakat. Pemecahan masalah hutan ini biasanya di lakukan dengan berbagai macam metode, misalnya seminar, workshop, tanam seribu pohon, tanam satu pohon tiap orang, ataupun solusi-solusi yang lain.

Metode apapun yang dilakukan oleh beberapa pihak akan terasa sulit di terima, jika kita masih belum bisa menghargai oksigen yang keluar dari sudut hijau pohon sekitar kita. Apakah kita masih suka menunggu bencana dulu, baru mau berbuat. Dan masihkah mau menebang pohon yang telah berjasa banyak pada tubuh kita.(fauzi)

01 July 2008

MONYET EKOR PANJANG BUKAN HAMA, Part 2

Permasalahan yang berlarut-larut dalam penanganan monyet ekor panjang akan menambah rentetan daftar kepunahan spesies yang ada di Indonesia, di tambah lagi dengan banyaknya oknum dalam penanganan monyet ekor panjang.

Dalam upaya penangkapan atau pemberantasan monyet ekor panjang, lagi-lagi oknum menggunakan dalih hama, sebagai alasan utama. “monyet ekor panjang bukan hama, monyet ekor panjang merusak karena habitatnya di rusak” ujar Nur Wakidah, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

Menurut Agustinus Suyanto,“saat ini Belum diketahui jumlah keseluruhan monyet ekor panjang di Indonesia, jumlahnya hanya diketahui pada beberapa lokasi saja”. Dengan tidak di ketahuinya jumlah populasi secara keseluruhan, maka akan semakin bebas oknum-oknum tertentu dalam mengeksploitasi monyet ekor panjang di alam.

Saat ini monyet ekor panjang yang mempunyai status sebagai hama, harus rela untuk di tangkap, di perdagangkan, ataupun di jadikan bahan percobaan medis. Sedangkan, “studi tentang monyet yang dikatakan hama, hanya dilakukan ketika suatu wilayah terjadi konflik dengan monyet” kata Suyanto yang kini menjadi Manajer Koleksi Mamalia Bidang Zoologi Pusat Penelitian (Puslit) Biologi LIPI di Cibinong, Bogor.

Status monyet ekor panjang yang bersifat hama, akan membuat perusahaan-perusahaan penangkaran berlomba dalam menangkap spesies ini, untuk di kirimkan keluar negeri sebagai bahan makanan ataupun kepentingan medis.

Dirjen PHKA Dephut menyatakan, “Konservasi keanekaragaman hayati bertolak pada pengelolaan konservasi di tiga level keanekaragaman hayati yaitu: Level ekosistem, level jenis dan level genetik secara terintegrasi dan komprehensif.”

Pada tingkat level jenis, konservasi dalam jangka panjang bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan jenis. kerusakan habitat dan pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang tidak terkendali, adalah musuh yang nyata bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati.

Diperlukan upaya serius dalam penanganan monyet ekor panjang, seperti keseriusan pemerintah dalam membatasi kuota penangkapan monyet ekor panjang, melakukan pengecekan dokumen perusahaan-perusahaan penangkaran, melakukan penghitungan jumlah populasi monyet ekor panjang di Indonesia, dan mengatakan kepada publik bahwa Monyet ekor panjang bukan hama. (fauzi)

WILUJENG SUMPING “KALAM”


Udara sejuk yang ada di kota Bogor dengan panorama alam yang luar biasa, merupakan sisi lain dari perjalanan ini. “Dari kota bogor naik angkot 08 merah turun di Bete radio atau Baso boboho”, ujar Uwe ketua KALAM (Komunitas Pedoeli Kampoeng halaman).

Sejenak ketika datang kamu akan di sambut kehangatan tempat lesehan dari bambu yang ada di pinggir jalan. Di dalam tempat lesehan itu ada stasiun radio, dan juga perpustakaan sederhana yang sangat familier dengan masyarakat sekitar.

Dari situ kita nyebrang jalan lalu akan menemukan tempat seperti ini. Rumah tempat komunitas KALAM bernaung;


Komunitas anak muda yang berada di bogor ini memang beda banget, ada semangat yang menggebu-gebu dari mereka untuk mengembangakan potensi yang ada di daerahnya. Kreativitas dan inovasi-inovasi yang di kembangkan patut di jadikan contoh bagi kaum muda yang ada di nusantara.

Banyak aktifitas yang di lakukan oleh kalam seperti melakukan edukasi pada anak-anak, sosialisasi tentang kegiatan mereka, siaran radio melalui Bete radio. “Mereka juga menciptakan lagu sendiri”, ujar Betran salah satu dedengkot yang ada di KALAM. Ini merupakan salah satu contoh, bahwa anak muda ternyata juga mampu melakukan sebuah perubahan yang lebih baik di masyarakat. (fauzi)

30 June 2008

ANAK-ANAK SUMBER GONDO

Berangkat dari semakin terpuruknya pendidikan yang ada di Indonesia, terutama di pedesaan. Hanya masyarakat yang kaya dan berduit saja yang bisa menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga pada masyarakat desa yang miskin, mereka tidak mampu untuk membiayai pendidikan anaknya. “ lebih baik bekerja nak… dari pada sekolah tinggi-tinggi yang akhirnya nganggur.”

Jadi orientasi orangtua sekarang, sekolah hanya merupakan ajang untuk pencarian kerja, dan bukan untuk mencari ilmu pengetahuan ataupun pengembangan potensi diri. Padahal, banyak anak-anak yang mau dan menikmati waktu luangnya untuk belajar bersama dalam sebuah komunitas belajar bersama.

Kondisi Pendidikan di Desa
Masyarakat desa Sumbergondo yang notabene mayoritas masyarakat petani sayur ataupun buah-buahan, yang berjuang untuk sebuah generasi yang progresif serta visioner tentang sebuah ilmu pengetahuan. Terlebih pada kondisi alam yang kian tak menentu, yang menjadikan orangtua mereka harus menghabiskan waktunya dikebun atau diladang untuk bekerja.

Anak-anak sebagai simbol peradaban baru sebuah bangsa, hanya menikmati belajar mereka di sekolah, dan dibatasi oleh jam sekolah dalam belajar. Keingintahuan anak yang semakin hari tidak mampu terjawabkan oleh orang tua atau guru mereka, menjadikan mereka sosok yang minder (kurang pergaulan), sehingga rasa ingin tahu yang ada di benak mereka hanya menjadi simpul-simpul syaraf yang menggumpal.

Seperti kita ketahui, sistem pendidikan kita yang masih bersifat sangat kaku, birokrastis dan sentralistik. Seorang guru harus menaati berbagai macam aturan, mulai aturan dari kepala sekolah, dinas pendidikan, belum lagi dengan penerbit buku (pemodal). Hal ini, menjadikan kreatifitas dalam dunia pendidikan kita menjadi statis, sehingga murid atau siswa hanya di jadikan sebagai alat kepatuhan dan tidak bisa mengembangkan potensi yang ada dirinya (mirip ajang bisnis, yang keuntungannya pada orang tententu saja).

Dengan permasalahan yang semakin rumit ini, anak akan selalu menjadi bagian yang terpinggirkan, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah strategis dalam upaya mengembangan potensi anak. Sehingga kretifitas dan kemampuan potensi mereka, akan menjadi jawaban bagi kemajuan desa, bangsa dan alam semesta.