15 June 2009
Berdiskusi Kala Dingin
Membasmi Sebuah Pilihankah?
Membasmi berarti membumihanguskan sesuatu. Tiada tempat maupun ruang lagi untuk hidup. Demikian juga dengan pembasmian sesuatu, dalam mempertahankan kehidupan. Layakkah pembasmian tersebut?
Sejarah mengatakan, bahwa "satu organisme yang hidup maupun mati di bumi ini memiliki arti tersendiri". Setiap organisme memiliki karakteristik unik dan mempunyai sifat yang berbeda-beda, sesuai dengan teritorial atau wilayah organisme dalam melakukan aktifitas kehidupannya.
Ketika kita berbijak mau melakukan sebuah riset maupun pengembangan suatu organisme dalam wilayah, tentunya kita akan belajar banyak tentang hakekat organisme tersebut. Hakekat sumber awal kehidupan dan penciptaan-Nya.
Dewasa ini, problematika yang serba sulit yang menerpa masyarakat Indonesia, telah membutakan banyak pihak untuk selalu berlaku instan dalam berpijak. Budaya tanpa pikir panjang, budaya membasmi tanpa sebuah pembelajaran dinamis ditengah masyarakat kita.
Membasmi seolah menjadi pilihan akhir. Tatkala tidak ada jalan penyelamatan lain, tidak ada waktu dalam mempelajari, tidak ada lagi ruang pilihan bagi sebuah keseimbangan.
Lahan pertanian adalah sumber kehidupan. Pertanian adalah hasil bagi keberlansungan hidup masyarakat. Namun, keseimbangan ekositem adalah jawaban bagi kesejahteraan hidup. Kesejahteraan anak cucu nantinya.
Pilihan membasmi, atau mempertahankan merupakan pilihan sulit bagi masyarakat, ketika suatu spesies telah menjadi hama di lahan pertanian. Akan tetapi, pilihan tetap ada di masyarakat, tentunya pilihan yang lebih arif dan bijaksana akan menjadi kehidupan lebih indah dan sejahtera.
Sejarah mengatakan, bahwa "satu organisme yang hidup maupun mati di bumi ini memiliki arti tersendiri". Setiap organisme memiliki karakteristik unik dan mempunyai sifat yang berbeda-beda, sesuai dengan teritorial atau wilayah organisme dalam melakukan aktifitas kehidupannya.
Ketika kita berbijak mau melakukan sebuah riset maupun pengembangan suatu organisme dalam wilayah, tentunya kita akan belajar banyak tentang hakekat organisme tersebut. Hakekat sumber awal kehidupan dan penciptaan-Nya.
Dewasa ini, problematika yang serba sulit yang menerpa masyarakat Indonesia, telah membutakan banyak pihak untuk selalu berlaku instan dalam berpijak. Budaya tanpa pikir panjang, budaya membasmi tanpa sebuah pembelajaran dinamis ditengah masyarakat kita.
Membasmi seolah menjadi pilihan akhir. Tatkala tidak ada jalan penyelamatan lain, tidak ada waktu dalam mempelajari, tidak ada lagi ruang pilihan bagi sebuah keseimbangan.
Lahan pertanian adalah sumber kehidupan. Pertanian adalah hasil bagi keberlansungan hidup masyarakat. Namun, keseimbangan ekositem adalah jawaban bagi kesejahteraan hidup. Kesejahteraan anak cucu nantinya.
Pilihan membasmi, atau mempertahankan merupakan pilihan sulit bagi masyarakat, ketika suatu spesies telah menjadi hama di lahan pertanian. Akan tetapi, pilihan tetap ada di masyarakat, tentunya pilihan yang lebih arif dan bijaksana akan menjadi kehidupan lebih indah dan sejahtera.
07 June 2009
Global Warming
Begitu mudahnya orang mengatakan Global Warming. Tanpa alasan yang jelas. Ketika mengetahui permasalahan lingkungan, masyarakat, peneliti, kaum intelektual maupun aktivis, seringkali membuat wacana pemikiran yang berujung pada Global Warming.
Apa sih Global Warming?. Begitu pentingkah?. Apakah separah itu, sampai makna Global Warming menjadi sabda bagi kaum pecinta lingkungan.
Sejauh ini, masyarakat desa pun sampai mengatakan sabda Global Warming. Kadang dengan pedenya, mesti itu hanya terucap tanpa tahu artinya. Seolah bahasa Global Warming menjadi keren mendadak pada masyarakat desa. Tak luput juga acara TV, yang terus saja terkena demam Global Warming.
Mengingat diskusi kecil dengan salah satu kawan lama. Kawan yang telah melakukan perjalanan ke pantai selatan kabupaten Malang.
Aku bertanya kepada beliau, "bagaimana hasil kemaren dari pantai?".
Beliau menjawab, "Global Warming, ombak sulit di prediksi".
Sebegitu mudahkah kita mengatakan Global Warming, tanpa tahu deforestry, tanpa mengerti siklus alam, tanpa sadar mitigasi peradaban, dan tanpa tahu sisi entitas alam. Bagi saya, Global Warming hanyalah isu, dan isu tidaklah penting untuk dikatakan. Isu hanyalah pelangi dan bukan matahari.
Apa sih Global Warming?. Begitu pentingkah?. Apakah separah itu, sampai makna Global Warming menjadi sabda bagi kaum pecinta lingkungan.
Sejauh ini, masyarakat desa pun sampai mengatakan sabda Global Warming. Kadang dengan pedenya, mesti itu hanya terucap tanpa tahu artinya. Seolah bahasa Global Warming menjadi keren mendadak pada masyarakat desa. Tak luput juga acara TV, yang terus saja terkena demam Global Warming.
Mengingat diskusi kecil dengan salah satu kawan lama. Kawan yang telah melakukan perjalanan ke pantai selatan kabupaten Malang.
Aku bertanya kepada beliau, "bagaimana hasil kemaren dari pantai?".
Beliau menjawab, "Global Warming, ombak sulit di prediksi".
Sebegitu mudahkah kita mengatakan Global Warming, tanpa tahu deforestry, tanpa mengerti siklus alam, tanpa sadar mitigasi peradaban, dan tanpa tahu sisi entitas alam. Bagi saya, Global Warming hanyalah isu, dan isu tidaklah penting untuk dikatakan. Isu hanyalah pelangi dan bukan matahari.
Satwa Mati
Tidak semua manusia mau peduli dengan keberadaan lingkungan, apalagi satwa. Bahkan aktivis yang bergerak di bidang tersebut, juga enggan jika ditanya tentang kepeduliannya.
Sejauh mana sih arti kepedulian?. Banyak suara sumbang dalam memperjuangkannya, banyak kepalsuan dalam aktifitasnya, dan banyak ketidakmampuan akan sisi kelemahan bahkan kekuatannya.
Analisis tanpa didasari dengan skema yang jelas. Analisis yang berimbas pada rasa saja, tanpa penghitungan mitigasi. Penelitian seolah menjadi barang sampah, tak berguna jika anda bergelut dibidangnya. "Yang terpenting menyelamatkannya?, ujar salah satu kawan aktivis lingkungan.
Secara rasionalitas, tidak ada yang salah dengan makna penyelamatan. Secara kasat mata, penyelamatan merupakan bagian fitrah bagi manusia. Namun, fakta di lapangan, semua terasa menjadi roda penghancuran yang begitu cepat.
Semua disalahkan, semua dikatakan tidak becus, semua dimusuhi. kawan jadi lawan, lawan menjadi sahabat kompromi. Satwa mati... satu nyawa hilang... begitupun manusia akan punah juga.
Sejauh mana sih arti kepedulian?. Banyak suara sumbang dalam memperjuangkannya, banyak kepalsuan dalam aktifitasnya, dan banyak ketidakmampuan akan sisi kelemahan bahkan kekuatannya.
Analisis tanpa didasari dengan skema yang jelas. Analisis yang berimbas pada rasa saja, tanpa penghitungan mitigasi. Penelitian seolah menjadi barang sampah, tak berguna jika anda bergelut dibidangnya. "Yang terpenting menyelamatkannya?, ujar salah satu kawan aktivis lingkungan.
Secara rasionalitas, tidak ada yang salah dengan makna penyelamatan. Secara kasat mata, penyelamatan merupakan bagian fitrah bagi manusia. Namun, fakta di lapangan, semua terasa menjadi roda penghancuran yang begitu cepat.
Semua disalahkan, semua dikatakan tidak becus, semua dimusuhi. kawan jadi lawan, lawan menjadi sahabat kompromi. Satwa mati... satu nyawa hilang... begitupun manusia akan punah juga.
Subscribe to:
Posts (Atom)