Meski tiada aktifitas lagi, tanpa ada pena, tidak ada lagi ada tatap muka. Semua menjadi kebebasan yang abstrak, kebebasan yang terbangun untuk menuju sebuah cita dan harapan.
Sesering kita membuka lembaran demi lembaran, dengan melibas ruang diskusi yang sudah terbangun. Niscaya tanpa arti lagi. Pencapaian yang sempurna tidak berasal dari hari yang keras dan sibuk. Namun pencapaian akan terasa indah, tatkala ruang-ruang menjadi dinamis.
Mencari kebodohan sendiri, dengan meninggalkan masa yang pernah terjadi. Sedikit meluangkan waktu melalui refleksi masa lampau. Mencoba menuju dimensi baru, harapan baru, dan tantangan yang lebih membuat kita selalu berpikir.
Sesering apakah kita bernafas. Disitulah akan terjadi sebuah kepalsuan waktu, yang terangkum oleh detak tanpa makna. Bernafas memiliki simbol kehidupan. Bagi manusia, bernafas merupakan keseimbangan otak yang terlupakan. Setiap kali kita menghirup oksigen, tanpa mau mengerti apa yang kita hirup benar-benar oksigen. Sebenarnya manusia hanya menghirup kebodohannya. Kebodohan yang berasal dari sel-sel angkuh dan rasisme.
Terasa benar, merasa benar, namun tidak bisa dibenarkan, itulah manusia. Refleksi dan mulai memahami entitas dengan segala ketidakmampuan merupakan jawaban dari pernafasan. Mulailah menghirup, coba bernafas seindah mungkin diselingi dengan selalu belajar tanpa meninggalkan makna masa lalu.
16 May 2009
Takkan berhenti bernafas
14 May 2009
Biologi UIN Malang
Menengok kembali rana diskusi dalam penelitian berkelanjutan. Kala mahasiswa dikampus belajar di luar koridornya. Melangkah keluar dan mulai menunjukkan tajinya sebagai pengembara pendidikan.
Di kampus yang dahulunya penuh dengan pepohonan, kini hanya berisi gedung-gedung karya arsitektur. Tanpa ada lagi ruang diskusi, kesombongan akan keagungan. Tidak disertai lagi warna-warni penelitian bagi mahasiswa. Semua terbaring dalam gedung berharga milyaran.
Beda jika dibandingkan dengan kaum miskin pada masa lampau. Miskin, namun kaya akan hijau. Kaya akan esensi, dengan pergerakan mengentaskan kebodohan.
Hutan keberagaman kini tinggal kenangan. Semua sudah bersatu dalam ruang putih, tanpa pernah tersentuh arti ketidaktahuan. Penelitian sejatinya bagian dari tujuan sebuah perguruan tinggi, pengabdian adalah roh bagi perjuangan dan masyarakat selalu merindukan karya sang anak perguruan tinggi.
Di kampus yang dahulunya penuh dengan pepohonan, kini hanya berisi gedung-gedung karya arsitektur. Tanpa ada lagi ruang diskusi, kesombongan akan keagungan. Tidak disertai lagi warna-warni penelitian bagi mahasiswa. Semua terbaring dalam gedung berharga milyaran.
Beda jika dibandingkan dengan kaum miskin pada masa lampau. Miskin, namun kaya akan hijau. Kaya akan esensi, dengan pergerakan mengentaskan kebodohan.
Hutan keberagaman kini tinggal kenangan. Semua sudah bersatu dalam ruang putih, tanpa pernah tersentuh arti ketidaktahuan. Penelitian sejatinya bagian dari tujuan sebuah perguruan tinggi, pengabdian adalah roh bagi perjuangan dan masyarakat selalu merindukan karya sang anak perguruan tinggi.
Obrolan tanpa cafein
Begitu dalam isapan nikotinnya. Duduk dilembaran alas biru lusuh. Lampu terang benderang. Di sudut kota, belahan dari katulistiwa. Mereka berbicara pada entitas tak berarti.
Sedikit ku geser warna nadanya. Pelan dalam nuansa pagi. Lepas tanpa batas setelah semua tawa sirna. Diam tanpa suara, suara yang membuat telinga ini semakin sesak oleh mereka.
Berharap keindahan. Berharap akan harapan.
Menari mereka dalam diam. Riang tanpa caffein. Hanya penyesalan dalam rias wajahnya. Nampak jelas tatkala matanya bersembunyi dalam goa kegelapan.
Kujalankan penyesalanku juga. Dalam sunyi nampak surga yang tak terbias. Dalam kelam terdapat aroma yang menyesakkan kehidupan.
Tak berarti lagi caffein. Tidak beguna lagi nikotin. Imajinasi otak terus berlari pada kebebasan, tanpanya lagi.
Sedikit ku geser warna nadanya. Pelan dalam nuansa pagi. Lepas tanpa batas setelah semua tawa sirna. Diam tanpa suara, suara yang membuat telinga ini semakin sesak oleh mereka.
Berharap keindahan. Berharap akan harapan.
Menari mereka dalam diam. Riang tanpa caffein. Hanya penyesalan dalam rias wajahnya. Nampak jelas tatkala matanya bersembunyi dalam goa kegelapan.
Kujalankan penyesalanku juga. Dalam sunyi nampak surga yang tak terbias. Dalam kelam terdapat aroma yang menyesakkan kehidupan.
Tak berarti lagi caffein. Tidak beguna lagi nikotin. Imajinasi otak terus berlari pada kebebasan, tanpanya lagi.
13 May 2009
Freedom fighter
Masa lalu, dalam kenangan di ruang bersama. Masa yang penuh dengan pertanyaan dan pertanyaan. Foto yang terekam disamping hanyalah bagian dari masa tersebut. Seto, Tri, Lutfi, Hayu, Ayi', Rifda, dan Edi senang berkenalan dengan anda. Maaf, itu semua hanya masa lalu.
Subscribe to:
Posts (Atom)