Sebagai manusia kita mencari perubahan yang baik bagi diri kita sendiri, anak-anak dan cucu-cucu kita; kita harus melakukannya dengan cara yang bertanggung jawab pada hak semua orang untuk melakukan hal yang sama. Untuk melakukannya ini kita harus terus-menerus belajar– tentang diri kita sendiri, kekuatan kita, keterbatasan kita, hubungan-hubungan kita, masyarakat kita, lingkungan kita, dunia kita. Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan adalah suatu ikhtiar yang luas, berlangsung seumur hidup, dan menantang individu, lembaga dan masyarakat untuk memandang hari esok sebagai hari milik kita semua, atau ini tidak akan menjadi milik siapapun.
Konferensi PBB pada Lingkungan dan Pembangunan pada tahun 1992, yakni Konferensi Bumi (The Earth Summit) memberikan prioritas tinggi dalam Agenda 21-nya kepada peranan pendidikan dalam mencapai jenis pembangunan yang akan menghormati dan menjaga lingkungan alam. Pertemuan ini berfokus pada proses orientasi dan re-orientasi pendidikan dalam rangka membantu perkembangan nilai-nilai dan tingkah laku yang bertanggung jawab bagi lingkungan, juga untuk menggambarkan jalan dan cara melakukannya. Pada Pertemuan Tingkat Tinggi Johannesburg pada tahun 2002 visi ini telah diperluas pada upaya meraih keadilan sosial dan memerangi kemiskinan sebagai prinsip-prinsip kunci dari pembangunan yang berkelanjutan: “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengesampingkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”.
Selaras dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Education on Education for All), Forum Pendidikan Dunia (World Education Forum) telah mengakui bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar dan ini adalah kunci bagi pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan stabilitas, pertumbuhan sosial ekonomi, dan pembangunan bangsa. Pada pertemuan ke-57 bulan Desember 2002, Sidang Umum PBB menyatakan Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan untuk periode 2005-2014, “dengan menekankan bahwa pendidikan adalah unsur yang sangat diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan”.
Area-area Kunci Pembangunan Berkelanjutan
Sebelum menguraikan peran khusus pendidikan berkenaan dengan pembangunan berkelanjutan, penting untuk memahami apa area-area kunci konsep ini, sebagaimana digambarkan oleh wacana internasional. Terdapat tiga area yang saling terkait dan paling sering dikenali dalam pembangunan berkelanjutan. Yaitu: masyarakat, lingkungan, dan ekonomi, dimana aspek-aspek politis dimasukkan dalam pembahasan masyarakat. Tiga unsur ini, ditegaskan kembali dalam Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg sebagai tiga pilar pembangunan berkelanjutan, memberi bentuk dan isi pada pembelajaran yang berkelanjutan:
1. Masyarakat: pemahaman akan lembaga-lembaga sosial dan peran mereka dalam perubahan dan pembangunan, begitu juga dengan sistem yang demokratis dan partisipatoris yang memberi kesempatan pada kebebasan berpendapat, pemilihan pemerintahan, pembuatan konsensus dan resolusi perbedaan.
2. Lingkungan: kesadaran akan kekayaan dan kerapuhan dari lingkungan fisik dan kerusakan yang terjadi padanya dari aktivitas dan keputusan umat manusia, dengan komitmen untuk memasukkan unsur kepedulian lingkungan dalam pengembangan kebijakan sosial dan ekonomi.
3. Ekonomi: suatu kepekaan atas batas-batas dan kekuatan dari pertumbuhan ekonomi dan pengaruhnya yang kuat pada masyarakat dan lingkungan, dengan komitmen untuk membebani tingkat konsumsi perseorangan dan masyarakat dengan perhatian untuk lingkungan dan untuk keadilan sosial.
Tiga unsur ini memikul sebuah proses perubahan yang terus-menerus dan berjangka panjang - pembangunan berkelanjutan adalah sebuah konsep yang dinamis, dengan pengakuan bahwa umat manusia berada dalam suatu gerakan yang konstan. Pembangunan berkelanjutan bukanlah tentang mempertahankan status quo, tetapi lebih tentang arah dan maksud perubahan. Penekanan pada hubungan antara kemiskinan dengan persoalan pembangunan berkelanjutan merujuk pada perhatian komunitas internasional bahwa mengakhiri kemelaratan dan ketidakberdayaan menjadi perhatian kita untuk masa depan dunia seperti halnya melindungi lingkungan. Menyeimbangkan keduanya adalah tantangan pokok pembangunan berkelanjutan.
Dasar dan fondasi untuk keterkaitan tiga area ini dengan pembangunan berkelanjutan terdapat dalam dimensi Budaya. Kebudayaan – cara hidup, berhubungan, berperilaku, berkeyakinan dan bertindak yang berbeda-beda sesuai dengan konteks, sejarah dan tradisi, yang didalamnya umat manusia menjalani kehidupan mereka. Ini adalah pengakuan bahwa praktek-praktek kebiasaan, identitas dan nilai-nilai – perangkat lunak pengembangan manusia – memainkan peran besar dalam menyusun dan membangun komitmen bersama. Dalam kaitan proses dan tujuan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (ESD), penekanan pada aspek kebudayaan akan menggaris bawahi pentingnya:
1. Menghargai keragaman: ‘permadani berharga’ pengalaman umat manusia dalam banyak konteks fisik dan sosiokultural dunia;
2. Tumbuh dalam penghargaan dan toleransi atas perbedaan: dimana kontak dengan keberbedaan adalah memperkaya, menantang dan menggairahkan;
3. Menghargai nilai-nilai dalam suatu debat terbuka dan dengan suatu komitmen untuk mempertahankan dialog agar tetap berlangsung;
4. Meneladani nilai-nilai penghargaan dan martabat yang mendasari pembangunan berkelanjutan, dalam kehidupan personal dan kelembagaan;
5. Membangun kapasitas manusia dalam semua aspek pembangunan berkelanjutan;
6. Menggunakan pengetahuan indigenous lokal tentang flora dan fauna dan praktek-praktek budidaya pertanian yang berkelanjutan, penggunaan air, dan sebagainya;
7. Mempercepat dukungan pada kebiasaan dan tradisi yang membangun keberlanjutan– termasuk aspek-aspek seperti pencegahan perpindahan besar-besaran orang desa;
8. Menghargai dan bekerja dengan pandangan yang khusus secara budaya atas alam, masyarakat, dan dunia, alih-alih mengabaikan mereka atau menghancurkan mereka, secara sengaja ataupun karena kekurang hati-hatian, atas nama pembangunan;
9. Menggunakan pola-pola komunikasi lokal, termasuk penggunaan dan pengembangan bahasa-bahasa lokal, sebagai penghubung interaksi dan identitas budaya.
Persoalan kebudayaan juga terhubung dengan pembangunan ekonomi melalui pendapatan, dimana perwujudan budaya bisa menghasilkan, melalui seni, musik, dan tarian, sebaik dari pariwisata. Di tempat berkembangnya industri kebudayaan seperti itu, harus ada kesadaran penuh akan bahaya pengkomodifikasian kebudayaan dan merusaknya menjadi sekedar objek ketertarikan orang luar. Kebudayaan harus dihargai sebagai konteks yang hidup dan dinamis yang di dalamnya manusia di manapun berada dapat menemukan nilai dan identitas mereka.
Tiga area ini – masyarakat, lingkungan, dan ekonomi – saling berhubungan melalui dimensi kebudayaan, sebuah karakter pembangunan berkelanjutan yang harus kita jaga dalam pikiran. Tak ada aspek kehidupan yang tak tersentuh oleh pencapaian pembangunan berkelanjutan, seperti halnya pembangunan yang semakin berkelanjutan dan akan berpengaruh pada setiap bagian kehidupan. Oleh karena Kompleksitas dan keterkaitan ini, ESD harus menyampaikan pesan-pesan kehidupan yang tak kentara namun jelas, menyeluruh namun nyata, multidimensi namun langsung.
Tujuan utamanya adalah mencapai kehidupan bersama yang penuh perdamaian, dengan lebih sedikit penderitaan, lebih sedikit kemiskinan di sebuah dunia tempat orang dapat menjalankan hak-hak mereka sebagai umat manusia dan warga negara dengan cara yang bermartabat. Pada saat yang sama lingkungan alam akan memainkan perannya untuk melakukan regenerasi dengan menghindari hilangnya keanekaragaman dan penumpukan limbah di biosfer dan geosfer. Kekayaan dalam keragaman di semua sektor lingkungan natural, kultural, dan sosial adalah komponen mendasar untuk sebuah ekosistem yang mapan dan untuk keamanan dan kegembiraan setiap komunitas. Hubungan yang saling berkaitan ini menggaris bawahi kompleksitas yang menjadi bagian dari lingkungan alam dan sistem pembelajaran manusia, yang terus-menerus membutuhkan perawatan dengan pendekatan holistik.
Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan: Mempromosikan Nilai-nilai
Bisakah pendidikan dipertimbangkan sebagai bagian integral dari strategi pembangunan berkelanjutan, dan jika demikian, mengapa begitu? Pembangunan berkelanjutan pada intinya berbicara tentang hubungan-hubungan antar orang, dan antara orang dengan lingkungan mereka. Dengan kata lain, ini sebuah persoalan sosio-kultural dan ekonomi. Elemen manusia sekarang secara luas diakui sebagai variabel kunci dalam pembangunan berkelanjutan, baik sebagai penyebab dari pembangunan berkelanjutan dan juga sebagai harapan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Hubungan manusia yang berdasarkan pada kepentingan diri sendiri (ketamakan, kecemburuan atau nafsu untuk berkuasa, misalnya) mempertahankan distribusi kekayaan yang tidak adil, membangkitkan konflik dan berujung pada kurangnya perhatian pada ketersediaan sumberdaya alam untuk masa depan. Sebaliknya, hubungan yang bercirikan keadilan, perdamaian, dan kepentingan bersama yang saling menguntungkan berujung pada keadilan yang lebih besar, penghargaan dan pemahaman. Kualitas-kualitas inilah yang akan mendasari strategi-strategi pembangunan berkelanjutan.
Nilai-nilai mendasar yang akan dipromosikan oleh pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan setidaknya disebutkan berikut ini:
* Penghargaan atas martabat dan hak asasi manusia untuk semua orang di seluruh dunia dan komitmen pada keadilan sosial dan ekonomi bagi semua;
* Penghargaan atas hak asasi manusia dari generasi masa depan dan komitmen pada pertanggungjawaban antar generasi;
* Penghargaan dan kepedulian bagi komunitas kehidupan yang lebih luas dengan semua keragamannya yang melibatkan perlindungan dan pemulihan pada ekosistem Bumi;
* Penghargaan atas keragaman budaya dan komitmen untuk membangun secara lokal dan global sebuah budaya toleransi, nirkekerasan dan perdamaian.
Pendidikan adalah kesempatan terbaik kita untuk mengenalkan dan mengakarkan nilai dan perilaku yang dikandung pembangunan berkelanjutan. Seperti telah diketahui banyak orang, ‘dibutuhkan sebuah pendidikan yang transformatif: pendidikan yang membantu menuju perubahan-perubahan fundamental yang dituntut oleh tantangan dari keberlanjutan. Mempercepat kemajuan menuju keberlanjutan bergantung pada menghidupkan kembali hubungan yang penuh kepedulian antara manusia dan dunia alam, untuk kemudian mempermudah eksplorasi kreatif bentuk-bentuk pembangunan yang lebih bertanggungjawab secara lingkungan dan sosial.’ Pendidikan memungkinkan kita sebagai individu dan komunitas untuk memahami diri kita sendiri dan orang lain, dan hubungan kita dengan alam dan lingkungan sosial yang lebih luas. Pemahaman ini berlaku sebagai dasar yang kokoh bagi untuk menghormati dunia sekitar kita dan manusia yang menghuninya.
Pencarian atas pembangunan berkelanjutan itu beraneka segi – tidak bisa bergantung pada pendidikan sendirian. Banyak parameter sosial lain yang mempengaruhi pembangunan berkelanjutan, seperti tata kepemerintahan, hubungan gender, bentuk-bentuk organisasi ekonomi dan partisipasi warga negara. Memang, bisa saja kita memilih untuk mengangkat pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan, karena pembelajaran tidak dibatasi pada pendidikan saja. Pembelajaran termasuk apa yang terjadi dalam sistem pendidikan, tetapi memperluasnya kedalam kehidupan sehari-hari-pembelajaran mengambil tempat di rumah, dalam setting sosial, di lembaga komunitas dan di tempat kerja. Meskipun dinamai sebagai Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan, ini harus memasukkan dan mendukung semua bentuk pembelajaran.
Adalah kepuasan melihat orang belajarlah yang menjadi motivasi banyak pendidik. Penelitian telah menunjukkan bahwa sebagian besar pendidik bekerja untuk membantu individu-individu untuk tumbuh dan berkembang secara intelektual, emosional, spiritual, dan secara praktis,untuk kemudian tumbuh subur dalam konteks sosio-lingkungan atau sosio-kultural apapun tempat mereka berada. Banyak pendidik memiliki pandangan bersemangat tentang mengapa dan bagaimana aspek-aspek pendidikan dapat dan harus memainkan peran vital dalam proses ini. Pembangunan nilai-nilai positif yang kuat dalam diri pembelajar – tentang diri mereka sendiri, tentang pembelajaran, dunia di sekeliling mereka dan tempat mereka di dalamnya– adalah bagian kunci dari apa yang berusaha pendidik tumbuh kembangkan dalam seorang pembelajar: berkembang sebagai manusia yang utuh, menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab, menemukan kecintaan pada pembelajaran seumur hidup, menyadari kekuatan dan potensi diri mereka. Pembelajaran personal inilah yang akan paling memungkinkan untuk mempercepat penanaman nilai-nilai yang mendasari pembangunan berkelanjutan, karena pembangunan berkelanjutan adalah persoalan mengadopsi suatu visi secara yakin daripada mencerna sebagian khusus dari ilmu pengetahuan. Pembelajaran dalam ESD bagaimanapun juga tidak bisa berhenti pada tingkatan personal– ini harus mendorong ke arah partisipasi aktif dalam mencari dan mengimplementasikan pola-pola baru perubahan dan pengorganisasian sosial, bekerja untuk menemukan struktur-struktur dan mekanisme-mekanisme yang akan lebih merefleksikan visi pembangunan berkelanjutan.
Perspektif Lingkungan
Sumber daya alam (air, energi, pertanian, keragaman biologis): Dengan berdasar pada lebih dari 30 tahun pengalaman pendidikan lingkungan, ESD harus terus melanjutkan pentingnya membicarakan persoalan-persoalan ini sebagai bagian dari agenda yang lebih luas dalam pembangunan berkelanjutan. Secara khusus, hubungan dengan pertimbangan kemasyarakatan dan ekonomi akan memungkinkan para pembelajar untuk mengadopsi perilaku baru dalam melindungi sumber daya alam dunia yang penting bagi pembangunan manusia dan untuk bertahan hidup. Kemanusiaan bergantung pada barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem. Jadi, perlindungan dan perbaikan pada ekosistem bumi adalah sebuah tantangan penting.
Perubahan iklim: Pemanasan global adalah masalah “modern”- rumit, melibatkan seluruh dunia, berada dalam keruwetan persoalan berbeda seperti kemiskinan, pembangunan ekonomi, dan pertumbuhan penduduk. ESD harus membawa kesadaran para pembelajar pada kebutuhan penting untuk persetujuan internasional dan target kuantitatif yang mampu dipaksakan untuk membatasi kerusakan pada atmosfir dan mencegah perubahan iklim yang berbahaya. Pada tahun 1992, sebagian besar negara-negara mengikuti Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change) untuk mulai mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi pemanasan global dan dan bagaimana mengatasi seberapapun kenaikan suhu yang akan terjadi. Pada tahun 1997, pemerintah-pemerintah menyetujui tambahan pada perjanjian ini, Protokol Kyoto, yang memiliki kekuatan lebih besar, mengikat secara hukum, dan diharapkan dapat berpengaruh secepatnya. ESD adalah suatu kunci penting untuk membangun suatu lobby global untuk sebuah tindakan efektif.
Pembangunan pedesaan: Di luar urbanisasi yang berlangsung begitu cepat, tiga milyar atau 60% dari orang-orang di negara-negara berkembang, atau setengah penduduk dunia, masih tinggal di pedesaan. Tiga perempat dari penduduk miskin dunia, berpenghasilan kurang dari satu dolar sehari, mayoritas penduduk tersebut adalah wanita, tinggal di pedesaan. Tidak bersekolah, putus sekolah, orang dewasa yang buta huruf dan ketimpangan gender dalam pendidikan secara tidak proporsional berlangsung tinggi di pedesaan, sebagaimana halnya kemiskinan. Perbedaan desa-kota dalam investasi pendidikan dan dalam kualitas pengajaran dan pembelajaran telah tersebarluas dan perlu untuk dibicarakan kembali. Aktivitas kependidikan harus dihubungkan dengan kebutuhan khusus dari komunitas pedesaan yakni keterampilan dan kemampuan untuk memperbesar kesempatan ekonomi, menaikkan pendapatan dan memperbaiki kualitas hidup. Dibutuhkan pendekatan kependidikan multisektoral yang melibatkan berbagai usia dan pendidikan formal, non formal, dan informal yang ada.
Urbanisasi yang berkelanjutan: Pada saat yang sama, kota-kota telah menjadi gerbang terdepan perubahan sosio-ekonomi global, dengan setengah populasi dunia sekarang tinggal di daerah-daerah urban dan setengah yang lainnya semakin bergantung pada kota untuk kemajuan ekonomi, sosial, dan politik mereka. Faktor-faktor seperti globalisasi dan demokratisasi telah meningkatkan peran penting kota demi tercapainya pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, lazim bila kota dianggap tidak hanya berperan mengancam pembangunan berkelanjutan, namun juga menjanjikan peluang bagi kemajuan ekonomi dan sosial, sekaligus peningkatan kualitas lingkungan di tingkatan lokal, nasional, maupun global.
Pencegahan dan mitigasi bencana: pembangunan berkelanjutan akan terhambat bila komunitas sekitarnya mengalami atau terancam oleh bencana. Pengalaman dan kerja di masa lampau telah menunjukkan pengaruh penting dan positif dari pendidikan yang ternyata mampu membantu mengurangi resiko terjadinya bencana. Anak-anak yang tahu bagaimana harus bertindak dalam kondisi gempa bumi, pemuka masyarakat yang siap sedia memberikan peringatan pada warganya saat terjadi kondisi bahaya, dan keseluruhan lapisan masyarakat yang telah diajari bagaimana menyiapkan diri saat terjadi bencana alam, semuanya merupakan strategi yang lebih baik dalam meringankan dampak dari bencana yang terjadi. Pendidikan dan pengetahuan telah membekali masyarakat dengan strategi pengurangan kerawanan dan kemampuan menolong diri sendiri.
Pendidikan Untuk Keberlanjutan Hidup Bersama
Konsep yang hampir serupa (tapi tidak sama) adalah konsep pendidikan untuk keberlanjutan (bukan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan), adalah penting untuk menghindari sejak awal reduksi-reduksi tujuan-tujuan pendidikan untuk keberlanjutan bahkan ESD sendiri.
Keberlanjutan berkenaan dengan cara pandang atas dunia, dan membentuk praktek-praktek sosial dan personal yang membawa pada:
1. Individu-individu yang beretika, berdaya dan utuh secara personal;
2. Komunitas yang dibangun berdasar perjanjian kolaboratif, toleransi dan kesetaraan;
3. Sistem sosial dan lembaga yang partisipatori, transparan dan adil; serta
4. Praktek-praktek lingkungan yang menghargai dan menjaga keragaman dan proses ekologis penyokong kehidupan.
Tuntutan rasional dari dunia yang saling bergantung dan sedang menciut ini adalah kesatuan seluas dunia. Kesatuan ini mensyaratkan kesadaran dan rasa saling memiliki yang menghubungkan kita dengan bumi kita, dan kampung halaman kita yang pertama serta terutama. Kita semua memiliki identitas genetis, serebral, dan emosional yang sama melalui dan melampaui keragaman individu, budaya, dan sosial. Kita adalah proses tumbuhnya kehidupan yang dilahirkan oleh rahim bumi dan dipelihara oleh bumi. Dan sekarang, sejak abad ke-20, semua manusia mempunyai masalah mendasar hidup dan mati yang sama. Semua terlibat dalam komunitas planet yang sama, menghadapi takdir yang sama. Kita harus menempatkan ‘ada’ kita dalam planet bumi ini. Belajar berada berarti belajar hidup, berbagi, berkomunikasi, berkelompok, hal-hal yang biasanya dipelajari di dalam lingkup kecil masyarakat. Sejak sekarang dan seterusnya kita harus belajar menjadi, belajar hidup, berbagi, berkomunikasi, berkelompok, sebagai manusia Planet Bumi.
Kita harus mencari hal-hal berikut di dalam diri kita sendiri:
* Suara hati antropologis, yang mengakui kesatuan dalam keragaman;
* Suara hati ekologis, yang sadar bahwa kita bersama dengan semua makhluk hidup mendiami lingkungan (biosfer) yang sama. Dengan kesadaran akan ikatan antara diri kita dan biosfer, kita hentikan mimpi muluk untuk menguasai jagat raya dan sebagai gantinya – memupuk kerinduan untuk hidup bersama di muka bumi;
* Suara hati warga bumi, rasa solidaritas dan tanggung jawab terhadap anak-anak dunia;
* Suara hati spiritual akan kondisi manusiawi, yang diperoleh melalui pemikiran kompleks yang terbuka untuk saling mengkritik, kritis terhadap diri sendiri, dan saling memahami.
Kembangkan identitas manusia kompleks kita. Imperatif ganda antropologis ini amat penting: selamatkan kesatuan manusia dan selamatkan keragaman manusia. Kembangkan identitas kita yang serentak konsentris dan plural; indentitas masyarakat lokal, etnis, dan nasional kita; serta identitas kebumian kita. Sekarang ini, tujuan fundamental semua pendidikan – yang bukan sekedar memajukan, melainkan juga mempertahankan hidup manusia – adalah memperadabkan dan mempersatukan dunia, serta mentransformasikan seluruh umat manusia ke dalam kemanusiaan sejati. Kesadaran akan kemanusiaan kita di era planeter ini niscaya menuntun kita pada suatu kesatuan baru dan saling berbela rasa satu sama lain. Pendidikan masa depan harus mengajarkan etika pemahaman berskala planet. (Ninil R M)
31 May 2008
Pendidikan Lingkungan: Untuk Sebuah Keberlanjutan Hidup Bersama
29 May 2008
Konsep Konservasi Alam
Konsep Konservasi Alam Tempo Doeloe
Pujangga Ronggowasito yang hidup 170 tahun yang lalu, pernah menuliskan sebuah syair tentang konflik yang tak kunjung usai antara manusia dan sekawanan gajah di suatu daerah Her Bangi, Sumatera.
Syair pujangga legendaris ini menuturkan: gajah yang telah kehilangan habitatnya semakin sulit mencari makan, karena sudah berubah menjadi perkampungan dan perkebunan. Sehingga mereka
memasuki perladangan dan memakan apa saja yang ada di ladang petani tersebut. Serbuan gajah semakin menjadi jadi, banyak penduduk yang mengungsi dan sulit mengusir mereka. Maka Maha Raja Her Bangi meminta bantuan untuk mendatangkan pasukan kerajaan dari Jawa untuk mengusir sekawanan satwa berbelalai tersebut.
Panglima perang dapat membunuh pimpinan gajah, namun tiba-tiba datang gajah putih yang sakti man draguna dan memporak porandakan pasukan bantuan tersebut. Akhirnya putra mahkota turun tangan dan membunuh gajah putih itu dengan senjata pamungkasnya.
Namun tiba-tiba datanglah dewa gajah, yaitu Bathara Ghana. Diadakan gencatan senjata dan perundingan untuk mencari jalan yang lebih baik antara Bathara Ghana dan Putra Mahkota Citra Soma, untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan sehingga menelan korban di kedua belah pihak, baik manusia dan gajah.
Dalam kompromi itu disepakati, bahwa hutan yang ada di lereng bukit untuk gajah dan dataran rendah untuk ladang dan perkampungan manusia. Mereka bersumpah, manusia tidak boleh memasuki dan melanggar hutan tempat hidup gajah. Demikian sebaliknya Gajah tak diperkenankan memasuki perkampungan dan memakan tanaman yang ditanam oleh petani di pinggiran hutan. Mereka membuat batas, agar masing masing tak melanggar aturan yang ditetapkan bersama. Barang siapa yang melanggar, maka akan mendapatkan kutukan dewata.
Dilihat dari penetapan “batas” perkampungan dan perkebunan manusia dengan tempat hidup gajah, dan masing - masing tak boleh melanggar, adalah sebuah gambaran atau konsep pelestarian alam yang tidak boleh diekploitasi. Sebuah pemecahan masalah yang bijaksana dan etis antara Gajah dan Manusia yang sama-sama mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki hak untuk hidup. Itulah sebuah konsep konservasi yang pernah di temui di Nusantara, yaitu pada tahun 1863, jauh sebelum kawasan taman nasional di Amerika Serikat Yellow Stone yang dianggap sebagai tonggak sejarah dalam pembentukan
pelestarian alam pada tahun 1872 berdiri. Konsep tersebut berupa sebuah tembang yang dibuat oleh seorang pujangga kenamaan, Ronggowarsito. (Edy Hendras - TROPIKA INDONESIA)
Pujangga Ronggowasito yang hidup 170 tahun yang lalu, pernah menuliskan sebuah syair tentang konflik yang tak kunjung usai antara manusia dan sekawanan gajah di suatu daerah Her Bangi, Sumatera.
Syair pujangga legendaris ini menuturkan: gajah yang telah kehilangan habitatnya semakin sulit mencari makan, karena sudah berubah menjadi perkampungan dan perkebunan. Sehingga mereka
memasuki perladangan dan memakan apa saja yang ada di ladang petani tersebut. Serbuan gajah semakin menjadi jadi, banyak penduduk yang mengungsi dan sulit mengusir mereka. Maka Maha Raja Her Bangi meminta bantuan untuk mendatangkan pasukan kerajaan dari Jawa untuk mengusir sekawanan satwa berbelalai tersebut.
Panglima perang dapat membunuh pimpinan gajah, namun tiba-tiba datang gajah putih yang sakti man draguna dan memporak porandakan pasukan bantuan tersebut. Akhirnya putra mahkota turun tangan dan membunuh gajah putih itu dengan senjata pamungkasnya.
Namun tiba-tiba datanglah dewa gajah, yaitu Bathara Ghana. Diadakan gencatan senjata dan perundingan untuk mencari jalan yang lebih baik antara Bathara Ghana dan Putra Mahkota Citra Soma, untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan sehingga menelan korban di kedua belah pihak, baik manusia dan gajah.
Dalam kompromi itu disepakati, bahwa hutan yang ada di lereng bukit untuk gajah dan dataran rendah untuk ladang dan perkampungan manusia. Mereka bersumpah, manusia tidak boleh memasuki dan melanggar hutan tempat hidup gajah. Demikian sebaliknya Gajah tak diperkenankan memasuki perkampungan dan memakan tanaman yang ditanam oleh petani di pinggiran hutan. Mereka membuat batas, agar masing masing tak melanggar aturan yang ditetapkan bersama. Barang siapa yang melanggar, maka akan mendapatkan kutukan dewata.
Dilihat dari penetapan “batas” perkampungan dan perkebunan manusia dengan tempat hidup gajah, dan masing - masing tak boleh melanggar, adalah sebuah gambaran atau konsep pelestarian alam yang tidak boleh diekploitasi. Sebuah pemecahan masalah yang bijaksana dan etis antara Gajah dan Manusia yang sama-sama mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki hak untuk hidup. Itulah sebuah konsep konservasi yang pernah di temui di Nusantara, yaitu pada tahun 1863, jauh sebelum kawasan taman nasional di Amerika Serikat Yellow Stone yang dianggap sebagai tonggak sejarah dalam pembentukan
pelestarian alam pada tahun 1872 berdiri. Konsep tersebut berupa sebuah tembang yang dibuat oleh seorang pujangga kenamaan, Ronggowarsito. (Edy Hendras - TROPIKA INDONESIA)
ALUMNI LP2B
ALUMNI LP2B MALANG
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Biologi (LP2B) Malang lahir pada tahun 2000. Banyak dari karya-karya warga LP2B yang telah di gunakan sebagai acuan, dalam pengembangan penelitian, terutama di bidang lingkungan alam.
Delapan tahun sudah LP2B berjalan, banyak dari alumni-alumni mereka yang telah menorehkan prestasi di bidangnya masing-masing. Sebut saja, salah satu alumninya Fadly Mubarok S,Si, bapak yang satu ini merupakan salah satu pioner di lembaga LP2B Malang.
“Banyak yang saya dapatkan ketika aktif di LP2B dulu, dan itu tidak pernah saya peroleh di bangku kuliah.” Kegiatan seperti penelitian di lapangan, mengadakan Diklat, mengadakan acara seminar hasil penelitian (SHP), sampai pengadaan teknologi tepat guna, kenang pak Fadly ketika masih aktif dalam jajaran pengurus LP2B.
Saat ini beliau bekerja di salah satu dinas kesehatan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Sebagai kepala bagian, yang menangani ekologi lingkungan dari sisi biologinya. Masih banyak alumni-alumni LP2B Malang, yang telah mendedikasikan dirinya pada sebuah penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yang berujung pada kesejahteraan masyarakat. (fauzi)
Salam buat alumni LP2B dan angkatan muda LP2B.
Semoga tulisan ini menginspirasi generasi LP2B, untuk melakukan sebuah perubahan yang lebih baik.
28 May 2008
A WINDOW TO THE GREEN
A WINDOW TO THE GREEN, ECO-TOURISM
Eco-tourism, green certification—what do these terms mean? Since the Bali Conference on Climate Change last December, these and many similar concepts have been bandied about.
The International Ecotourism Society (TIES) defines ecotourism as:
“Responsible travel to natural areas that conserves the environment and improves the well-being of local people.” This means that those who implement and participate in ecotourism activities should follow the following principles:
1. Minimize impact
2. Build environmental and cultural awareness and respect
3. Provide positive experiences for both visitors and hosts
4. Provide direct financial benefits for conservation
5. Provide financial benefits and empowerment for local people
6. Raise sensitivity to host countries’ political, environment, and social climate
Recently I had the opportunity to visit two such places—one was a privately-owned hotel in Ubud, the other a Raptor-Rehabilitation Center managed by yayasan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) on Kotok Island, of the Thousand Islands.
Alam Sari Hotel, or “Natural Essence”, Ubud, Bali. As the parent of a JIS alumni, our Bali trips included Kuta, Legian, Kuta, Kuta…you get the picture. We know there’s more to Bali than Beaches, Bargains and Bounty Disco, but where to scratch to find it? Too late did I discover Alam Sari Keliki, a small 12 room hotel plus villa in the hills near Ubud, where our teenage son would have—eventually—valued the tranquility and the deeper scratch into Balinese culture.
Owners Aprile and Hugh Collett, JIS teachers, have been environmentally sensitive from the hotel’s inception, and their green emphasis includes the following:
• Fruit, vegetable, herb and spice gardens, using certified organic seeds and composted fertilizer. The garden provides all the needed herbs for its dining facilities and a substantial portion of the fruits and vegetables
• Gardens irrigated by filtered water which comes from the nearby Subuk River
• Solar panels provide hot water, with gas for back-up
• On-site Australian Enviro-water treatment facility
• Recycling containers for paper, plastics, metal, and paper
• Meditations sites and spas with natural herbal oils
Education does not stop at the hotel. Pak Dewa, employee and resident of the nearby village Kuliki, leads guests on a free tour of his traditional Balinese village, which includes a sensitive portrayal of the temples, family life, and the Balinese connection to the earth. His goal is not to goad tourists into purchasing local handicrafts but to teach us of the “essence of Bali”, reflected in the cultural symbols found in their temple and family compounds and in their farming techniques, explaining the interconnectedness between the villagers and their land. He weaves the traditional Balinese themes into his tour, those of win-win scenarios, the importance of the process vs. focusing on the end results, finding the balance between negative and positive, and living in harmony.
The Collett’s are inspired and motivated by the Balinese example of agricultural interdependence and plan to integrate more fully these traditions into their hotel grounds. The Lonely Planet has noted them as having an environmental focus, but that doesn’t stop them from developing other initiatives such as future plans for carbon offsetting schemes to compensate for greenhouse gas emissions due to air travel and working towards Green Certification (see Green Globe, Green Seal Certification, and Planeta.com). For more information on Alam Sari, see http://www.alamsari.com/.
Kotok Island, North of Jakarta. Living in South Jakarta, I forget how close the ocean is—maybe at some deep psychic level I’m still living in Nebraska as I look out at the traffic and think, “the beach is a long ways away.” However, after a 1.5 hour boat ride from North Jakarta’s Marina Ancol there’s no doubt, that hey, Toto…we’re not in Nebraska anymore.
Kotok Island is part of Kepuluan Seribu National Park, of the Thousand Islands, which really is about 110 islands—and dwindling. The Raptor Rehabilitation Project is home to two species: the Elang Bondol, or Brahminy Kite, which is the symbol of Jakarta AND another rapidly dwindling feature of the archipelago—a handful now exist where once there were hundreds, if not thousands; and the Elang Laut Perut Putih, or White-Bellied Sea Eagle, which boasts a six
foot-plus wingspan. JAAN receives these raptors from the Forestry Department, birds captured from illegal wildlife markets in Indonesia. The birds are usually caught and sold to the markets by local fishermen wanting to supplement their meager incomes. Once at Kotok, the birds spend their first few days in quarantine, before moving onto the socialization cages, then to the release cages, which are located at the sea edge where they then learn to fish before being released. Because they are taken from the nests when just fledglings, the birds need to learn 1) they are from the community of birds and not humans; and 2) how to fish for themselves—hence the intricate rehabilitation process.
Besides the Raptor-Rehabilitation Program, other environmental projects are underway on Kotok which include:
• Marine protection/rehabilitation projects. A study by John Hopkins University revealed that of Indonesia’s reefs, only 6% are in excellent condition while 70% are in poor to fair condition. In addition, world demand is high for corals—that’s what we see in aquariums—therefore, working in conjunction with the National Parks Department, the local communities are taught sustainable reef farming techniques in order to help preserve this national resource.
• Recycling and waste management
• Nurseries for both deciduous and mangrove trees for reforestation and mangrove rehabilitation projects.
• Pilot organic gardening, to be duplicated on other islands. Currently the islanders import over 95% of their fresh vegetables from Jakarta.
Day trips to the island as well as overnight trips (with basic accommodations) can be arranged by JAAN. In addition to the educational aspect of this project, snorkeling and diving is available, as is sunbathing on the beach and hiking around the island. Volunteers are needed in various capacities—another way for your teenager to burn some of that energy!
See their web site for contact information; http://www.jakartaanimalaid.com/programs.html
For questions in specific areas, contact the personnel listed below through their web page.
Femke den Haas, Wildlife Conservation Advisor
Natalie Stewart, General Animal Advisor
Karin Franken, Domestic Animal Advisor
AWA has always encouraged and supported local initiatives, not only through its charitable giving but also by supporting local industries through its well-organized and well-attended bazaars. This article highlights another way AWA can not only give back to the local community but also to the global community—by encouraging its members to choose tourist destinations which integrate ecotourism principles.
Written by Mary Edwards. Mary has her MA in Energy and Environmental Studies and has worked on Sustainable Development Issues for over 15 years. She and her husband have lived in Jakarta for 5 years. She can be reached at mary.edwards@gmail.com
Eco-tourism, green certification—what do these terms mean? Since the Bali Conference on Climate Change last December, these and many similar concepts have been bandied about.
The International Ecotourism Society (TIES) defines ecotourism as:
“Responsible travel to natural areas that conserves the environment and improves the well-being of local people.” This means that those who implement and participate in ecotourism activities should follow the following principles:
1. Minimize impact
2. Build environmental and cultural awareness and respect
3. Provide positive experiences for both visitors and hosts
4. Provide direct financial benefits for conservation
5. Provide financial benefits and empowerment for local people
6. Raise sensitivity to host countries’ political, environment, and social climate
Recently I had the opportunity to visit two such places—one was a privately-owned hotel in Ubud, the other a Raptor-Rehabilitation Center managed by yayasan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) on Kotok Island, of the Thousand Islands.
Alam Sari Hotel, or “Natural Essence”, Ubud, Bali. As the parent of a JIS alumni, our Bali trips included Kuta, Legian, Kuta, Kuta…you get the picture. We know there’s more to Bali than Beaches, Bargains and Bounty Disco, but where to scratch to find it? Too late did I discover Alam Sari Keliki, a small 12 room hotel plus villa in the hills near Ubud, where our teenage son would have—eventually—valued the tranquility and the deeper scratch into Balinese culture.
Owners Aprile and Hugh Collett, JIS teachers, have been environmentally sensitive from the hotel’s inception, and their green emphasis includes the following:
• Fruit, vegetable, herb and spice gardens, using certified organic seeds and composted fertilizer. The garden provides all the needed herbs for its dining facilities and a substantial portion of the fruits and vegetables
• Gardens irrigated by filtered water which comes from the nearby Subuk River
• Solar panels provide hot water, with gas for back-up
• On-site Australian Enviro-water treatment facility
• Recycling containers for paper, plastics, metal, and paper
• Meditations sites and spas with natural herbal oils
Education does not stop at the hotel. Pak Dewa, employee and resident of the nearby village Kuliki, leads guests on a free tour of his traditional Balinese village, which includes a sensitive portrayal of the temples, family life, and the Balinese connection to the earth. His goal is not to goad tourists into purchasing local handicrafts but to teach us of the “essence of Bali”, reflected in the cultural symbols found in their temple and family compounds and in their farming techniques, explaining the interconnectedness between the villagers and their land. He weaves the traditional Balinese themes into his tour, those of win-win scenarios, the importance of the process vs. focusing on the end results, finding the balance between negative and positive, and living in harmony.
The Collett’s are inspired and motivated by the Balinese example of agricultural interdependence and plan to integrate more fully these traditions into their hotel grounds. The Lonely Planet has noted them as having an environmental focus, but that doesn’t stop them from developing other initiatives such as future plans for carbon offsetting schemes to compensate for greenhouse gas emissions due to air travel and working towards Green Certification (see Green Globe, Green Seal Certification, and Planeta.com). For more information on Alam Sari, see http://www.alamsari.com/.
Kotok Island, North of Jakarta. Living in South Jakarta, I forget how close the ocean is—maybe at some deep psychic level I’m still living in Nebraska as I look out at the traffic and think, “the beach is a long ways away.” However, after a 1.5 hour boat ride from North Jakarta’s Marina Ancol there’s no doubt, that hey, Toto…we’re not in Nebraska anymore.
Kotok Island is part of Kepuluan Seribu National Park, of the Thousand Islands, which really is about 110 islands—and dwindling. The Raptor Rehabilitation Project is home to two species: the Elang Bondol, or Brahminy Kite, which is the symbol of Jakarta AND another rapidly dwindling feature of the archipelago—a handful now exist where once there were hundreds, if not thousands; and the Elang Laut Perut Putih, or White-Bellied Sea Eagle, which boasts a six
foot-plus wingspan. JAAN receives these raptors from the Forestry Department, birds captured from illegal wildlife markets in Indonesia. The birds are usually caught and sold to the markets by local fishermen wanting to supplement their meager incomes. Once at Kotok, the birds spend their first few days in quarantine, before moving onto the socialization cages, then to the release cages, which are located at the sea edge where they then learn to fish before being released. Because they are taken from the nests when just fledglings, the birds need to learn 1) they are from the community of birds and not humans; and 2) how to fish for themselves—hence the intricate rehabilitation process.
Besides the Raptor-Rehabilitation Program, other environmental projects are underway on Kotok which include:
• Marine protection/rehabilitation projects. A study by John Hopkins University revealed that of Indonesia’s reefs, only 6% are in excellent condition while 70% are in poor to fair condition. In addition, world demand is high for corals—that’s what we see in aquariums—therefore, working in conjunction with the National Parks Department, the local communities are taught sustainable reef farming techniques in order to help preserve this national resource.
• Recycling and waste management
• Nurseries for both deciduous and mangrove trees for reforestation and mangrove rehabilitation projects.
• Pilot organic gardening, to be duplicated on other islands. Currently the islanders import over 95% of their fresh vegetables from Jakarta.
Day trips to the island as well as overnight trips (with basic accommodations) can be arranged by JAAN. In addition to the educational aspect of this project, snorkeling and diving is available, as is sunbathing on the beach and hiking around the island. Volunteers are needed in various capacities—another way for your teenager to burn some of that energy!
See their web site for contact information; http://www.jakartaanimalaid.com/programs.html
For questions in specific areas, contact the personnel listed below through their web page.
Femke den Haas, Wildlife Conservation Advisor
Natalie Stewart, General Animal Advisor
Karin Franken, Domestic Animal Advisor
AWA has always encouraged and supported local initiatives, not only through its charitable giving but also by supporting local industries through its well-organized and well-attended bazaars. This article highlights another way AWA can not only give back to the local community but also to the global community—by encouraging its members to choose tourist destinations which integrate ecotourism principles.
Written by Mary Edwards. Mary has her MA in Energy and Environmental Studies and has worked on Sustainable Development Issues for over 15 years. She and her husband have lived in Jakarta for 5 years. She can be reached at mary.edwards@gmail.com
Subscribe to:
Posts (Atom)