Tembok, tembok dan tembok... berseragam, bermoral, berbudi dan beragama katanya. Meniti ketidakpastian dalam ruang bersekat, membosankan. Tapi itu tantangan.
Lima hari dalam seminggu bersama maha guru. Menjalani rutinitas tanpa ruang kebebasan, berusaha tegar dan tersenyum, meski membosankan. Tapi harus tetap semangat.
Hidup tak selamanya berpetualang. Adakalanya berada pada ruang kejemuan. Melihat dan merefleksikan keberadaan. Dan bersyukur dalam keterbatasan, serta ikhlas dalam segala hal.
03 November 2009
01 November 2009
Kereta Satria
Ribuan jarak kilometer ditempuh dalam selang waktu yang berbeda. Mengutarakan apa yang berada dalam kalimat demi kalimat. Menyusuri setinggi perumpamaan kata di pejam kilau cahaya.
Kusampaikan ucap selamat tinggal pada kediaman. Rumah masa kecil yang selaras dengan keadaan pedesaan. Ruang dan waktu yang terus saja berlalu tanpa pernah dimengerti.
Salam yang terjawab, waalaikum salam.
Kusampaikan ucap selamat tinggal pada kediaman. Rumah masa kecil yang selaras dengan keadaan pedesaan. Ruang dan waktu yang terus saja berlalu tanpa pernah dimengerti.
Salam yang terjawab, waalaikum salam.
Perlahan Mengenal Diri
Setiap orang punya potensi dalam mengembangkan segala kreatifitas. Membaur dalam rana sosial dan berprestasi dalam tanggungjawab.
Kemapanan tidak menjamin seseorang itu berhasil. Kecerdasan hanya akan berkarat tatkala keinginan membius dalam langkah sia-sia. Setiap manusia punya kesempatan untuk perubahan hidupnya.
Perlahan difinisi kegalauan akan pedesaan, keterbatasan dan kemiskinan, bukan menjadi halangan seseorang untuk mengejar cita. Bergerak dalam dimensi kebebasan dengan bahasa kejujuran, demi sebuah pencarian arti kehidupan.
Kemapanan tidak menjamin seseorang itu berhasil. Kecerdasan hanya akan berkarat tatkala keinginan membius dalam langkah sia-sia. Setiap manusia punya kesempatan untuk perubahan hidupnya.
Perlahan difinisi kegalauan akan pedesaan, keterbatasan dan kemiskinan, bukan menjadi halangan seseorang untuk mengejar cita. Bergerak dalam dimensi kebebasan dengan bahasa kejujuran, demi sebuah pencarian arti kehidupan.
21 September 2009
Aktifis dan Pembalak adalah Penjarah Hutan
Kayu balok tercecer di sebuah desa. Tersayat halus oleh goresan perajin bangunan. membentuk bidang kubus berejejer rapat. Di desa tersebut aku menempatkan sisa waktuku kala berusia senja.
Pemabalakan liar, penggundulan hutan, degradasi air, dan banjir di sebuah kota selaras panjang garis khatulistiwa. Kudengar hasil jarahan kayu telah berubah menjadi balok-balok. Menyisir dalam lingkaran kehancuran. Mungkin kayu-kayu ini adalah bagian dari hasil keindahan sang pembalak.
Kujauhkan pandangan dalam ruang publik penjarah. Aku menatap bangunan indah ini. Bangunan dengan ciri khas pedesaan. Bangunan pendidikan lingkungan, penuh anak muda, dan hampir tiap tahun para pelancong datang dan berkunjung disana.
Bersuara lantang tentang penyelamatan lingkungan. Berproses melakukan kelestarian lingkungan. Teriakan dari dalam bangunan kayu berbalok. Teriakan keseharian sebagai rutinitas kerja.
Kinerja para aktifis dalam bangunan tersebut menghasilkan gaji yang lumayan tinggi bila dibandingkan dengan para penjarah hutan. Penjarah hanya bisa beratap kayu dalam kehidupannya, sedangkan para aktifis beratap internet dalam kehidupannya. Penjarah berjuang untuk keluarganya, sedangkan aktifis berjuang untuk idealismenya. Penjarah hanya mengenal jenis kayu dan gergaji, aktifis hanya mengenal teriakan dan tulisan dalam kata-katanya di layar komputer.
.........#......
Kayu sebagai penyangga sang idealis untuk bekerja hanya akan menghasilkan ruang jatuh kala retak serangga mendatanginya. Sedikit demi sedikit akan menghujam dan roboh. "Sebuah bangunan memiliki usia tertentu" ujar sahabatku arsitek kala aku menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi.
Usiaku yang tidak lagi muda hanya sanggup berefleksi dengan bangunan kayu yang berada tepat 23 derajat lintang utara. Kayu tersebut mulai mengering, Seolah mengisyaratkan bahwa mereka yang didalam menjadi keniscayaan palsu sang peneriak idealis. Bahkan ubin yang berasal dari pasir-pasir penggerus sungai telah retak penuh lubang. Tak ada sisa bagi aktifis yang selalu berujar penyelamatan lingkungan tanpa mau mengenal sisi sekelilingnya.
Balok kayu dari keringat kaum pejuang kehidupan.
Bangunan kayu penuh dengan suara perjuangan.
Namun hutan, pohon dan alam akan selalu mengingatkan kita bahwa alam bukan hanya perjuangan atau diperjuangkan.
Alam butuh sentuhan alamiah dalam mengenal-Nya.
Pemabalakan liar, penggundulan hutan, degradasi air, dan banjir di sebuah kota selaras panjang garis khatulistiwa. Kudengar hasil jarahan kayu telah berubah menjadi balok-balok. Menyisir dalam lingkaran kehancuran. Mungkin kayu-kayu ini adalah bagian dari hasil keindahan sang pembalak.
Kujauhkan pandangan dalam ruang publik penjarah. Aku menatap bangunan indah ini. Bangunan dengan ciri khas pedesaan. Bangunan pendidikan lingkungan, penuh anak muda, dan hampir tiap tahun para pelancong datang dan berkunjung disana.
Bersuara lantang tentang penyelamatan lingkungan. Berproses melakukan kelestarian lingkungan. Teriakan dari dalam bangunan kayu berbalok. Teriakan keseharian sebagai rutinitas kerja.
Kinerja para aktifis dalam bangunan tersebut menghasilkan gaji yang lumayan tinggi bila dibandingkan dengan para penjarah hutan. Penjarah hanya bisa beratap kayu dalam kehidupannya, sedangkan para aktifis beratap internet dalam kehidupannya. Penjarah berjuang untuk keluarganya, sedangkan aktifis berjuang untuk idealismenya. Penjarah hanya mengenal jenis kayu dan gergaji, aktifis hanya mengenal teriakan dan tulisan dalam kata-katanya di layar komputer.
.........#......
Kayu sebagai penyangga sang idealis untuk bekerja hanya akan menghasilkan ruang jatuh kala retak serangga mendatanginya. Sedikit demi sedikit akan menghujam dan roboh. "Sebuah bangunan memiliki usia tertentu" ujar sahabatku arsitek kala aku menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi.
Usiaku yang tidak lagi muda hanya sanggup berefleksi dengan bangunan kayu yang berada tepat 23 derajat lintang utara. Kayu tersebut mulai mengering, Seolah mengisyaratkan bahwa mereka yang didalam menjadi keniscayaan palsu sang peneriak idealis. Bahkan ubin yang berasal dari pasir-pasir penggerus sungai telah retak penuh lubang. Tak ada sisa bagi aktifis yang selalu berujar penyelamatan lingkungan tanpa mau mengenal sisi sekelilingnya.
Balok kayu dari keringat kaum pejuang kehidupan.
Bangunan kayu penuh dengan suara perjuangan.
Namun hutan, pohon dan alam akan selalu mengingatkan kita bahwa alam bukan hanya perjuangan atau diperjuangkan.
Alam butuh sentuhan alamiah dalam mengenal-Nya.
Subscribe to:
Posts (Atom)