Sejenak berlalu waktu demi waktu. Tatkala peradaban mencengkram aliran pikiran manusia, agama menjadi Tuhan, idealis laksana panutan, dan jutaan keajaiban nampak satu persatu. Bumi sudah tua rentah. Bahkan untuk melewati waktu, mesti berakhir dengan materi yang berbentuk kertas lembaran.
Ruang dipinggir jalan seolah mengingatkan arti perjalanan ini, sebuah tanya yang berujung tanya, tanpa ada jawaban yang pasti. Seringkali terdengar teriakan dari letupan laras panjang disudut kota hitam, seringkali jalanan masih ramai dengan tangisan yang membuat lirih pendengarnya, dan jarang ditemukan sampah-sampah dari mulut berbisa. Bisa yang selama ini jadi raja bagi terciptanya peradaban kemunafikan.
Secarik kertas, lusuh, penuh lumut, yang berada di sela-sela bangku. Bangku yang selama ini menemani rasa lelah keringatku, bangku yang membangunkanku dari liang keangkuhan. Bangku berbentuk persegi panjang, yang luasnya hampir separuh ukuan panjang badanku.
Kuambil kertas lusuh itu, kutatap apa isi yang ada di dalamnya, dengan penuh hati-hati ku buka lembaran yang sudah bertahun-tahun berada di bangku ini. Jauh keluar dari dinamika pikiran ini, membayangkan bagaimana kertas ini dulu di buat, kertas yang terbuat dari serpihan-serpihan kayu hutan belantara.
Kertas terbuat dari sebuah kreatifitas tanpa batas, sampai manusia memanfaatkannya untuk mengitung keuntugan dari usahanya, ada juga yang dengan tulus ikhlas sang orang tua yang menginginkan kecerdasan anaknya dengan cara memberikan lembaran-lembaran kertas yang masuk di dalam buku.
Lamunanku tersentak kala kertas yang berada ditangan ini jatuh kelantai, sembari membungkukkan tulang belakang, dengan sedikit menurunkan kaki yang sudah lama berada di atas bangku ini, aku mencoba mengambil untaian kertas tadi. Kertas yang menjadi tanya bagi pikiran, kertas yang aku tidak pernah tahu apa isi yang terkandung di dalamnya, jika belum membukanya.
Kujulurkan tangan kotor ini untuk menggapai kertas tersebut, kupandang tangan ini ternyata sudah berkeriput, tangan ini tak seindah masa mudaku dulu. Lemas tak berotot, yang mencoba menggenapkan ruang jemari agar masih mampu menggapainya. Kuangkat secarik kertas ini, kertas yang tadinya sangat ringan, berubah menjadi beban yang kian menjadi-jadi, terasa berat, hingga menusuk ujung tulang belakang rapuhku.
Namun tetap ini hanya secarik kertas, “hanya segini saja aku tidak mampu,” lirihku dalam hati. Meski dengan susah payah beban yang berada dipundak untuk mengetahui apa isi dari kertas ini, aku sampai menghela nafas, dengan keingintahuan rasa penasaran, “ apa isi yang terkandung dari secarik kertas ini”.
Perlahan kupakai kaca mata tuaku, untuk melintasi dermaga putih lusuh di atas tanganku. Ku buka perlahan selayaknya pengantin baru yang menelanjangi sang pasangan. Kurantai jiwa egoku demi menggapai pikiran murni ketika membacanya. Kutatap kata-kata didalamnya, bait demi bait, paragraph demi paragraph, dan coretan demi coretan arti di dalamnya.
Mungkin surat cintaku dulu seperti ini, ketika kekasihku mengirimkan kepadaku melalui pak Pos. Pak Pos berseragam putih, yang selalu berteriak kala musim semi tiba. Mungkin aku sekarang akan bisa memahami dan menelaah isi tulisan ini, jika dulu aku mau belajar membaca.
By fauziing (cerpen kala senja)