Beranjak dari ruang benderang, lalui waktu tanpa batas, meski bersekat...
Merobohkan tanpa menjatuhkan...
Memuliakan tanpa memuji...

09 March 2011

Persimpangan Pendidikan

Duhai kelembutan tutur nan bijak: janganlah rentan akan sikap kedisiplinan pembelenggu kreatifitas. Saat romantisme budaya barat menjadi tiang penyangga, maka jadikan lantai budaya kerifan lokal dikepala para anak-anak Indonesia.

Duhai yang dihormati: Tidak bisa hidup tanpa tawa dan gurau, biarkan tawa jadi lumbung peringkat satu dunia dan jadikan gurau sebagai lantunan belajar.

Kekang, jangan kau kekang dengan seragam, jangan kau tikam dengan SPP, jangan kau bungkam dengan aturan pengikat. Biarkan pendidikan mencari jati dirinya. Anak-anak tidak butuh tugas-tugas atau nilai UAN yang bagus, namun butuh harkat dan martabatnya dihargai.

Saling berusaha dan optimal. Mengeluh hanya menjadi kantong sampah pendidikan.

05 March 2011

Alas Tak Ber-alas

kata Alas biasa disebut oleh orang jawa, namun dalam bahasa Indonesia Alas bernama Hutan. Alas bukan Alaska yang dingin dan beranjak mencair akibat pemanasan global.

Kini jarang ditemukan Alas nan rimbun. Berangsur dan bertahap Alas telah menjadi ruang pekat nan gersang. Nama Alas terkikis keangkerannya, karena yang didalam Alas, seperti harimau ikut dimusnahkan.

Bagaimana jika manusia modern dan kapitalis tidak ber-alas, tidur tidak ber-alas, makan tidak ber-alas piring, minum tidak ber-alas gelas, semua itu ada kemungkinannya jika manusia masih terus-terusan menghancurkan Alas.

02 March 2011

Persinggahan Ikat Suci

Minggu, 27 februari 2011. Pagi berdegup melintasi sahaja waktu. Melewati dua makam Presiden Indonesia, dari sang revolusioner ke pembaharu perubahan nusantara. Tujuh dalam satu mobilitas dan tujuan yang sama.

Ini waktu yang terlewati begitu saja, cepat, tanpa aral dan penuh harapan. Saat yang dinanti bagi kehidupan yang baru. Kehidupan yang menjadi fitrah anak manusia dalam melanjutkan hidupnya.

Hanya berdasar keyakinan dan niat baik. Itu saja.

11 February 2011

Hijau Bumi Nusantara

Simbol hijau nan suci, bersikeras dengan kedamaian dinamisasi liberal. Pergolakan Nusantara kini memainkan peranan politis angkuh. Berjibaku dalam rana kuasa dan berkata:"Yang kuasa yang dapat makan". Sebuah slogan bagi serigala berparas monyet.

Bumi sudah tak kuasa menahan amarah sang suci. Satu persatu darah mulai berceceran. Konflik etnis, agama menjadi lumbung para politisi busuk untuk menjadi pahlawan. Kaum intelektual mulai mencari jalan aman, dan membersihkan kotoran yang berlumpur tai anjing.

Indonesia butuh tatanan baru. Butuh kualitas kejujuran. Butuh simbol kebenaran. Dan Indonesia tidak butuh orang pengecut berparas suci.

Sebuah refleksi tentang Nusantara. Menggagas wajah baru, Indonesia yang penuh dengan nilai-nilai tradisi dan kekuatan NKRI.