Beranjak dari ruang benderang, lalui waktu tanpa batas, meski bersekat...
Merobohkan tanpa menjatuhkan...
Memuliakan tanpa memuji...

13 September 2008

PESAN SECARIK KERTAS

Sejenak berlalu waktu demi waktu. Tatkala peradaban mencengkram aliran pikiran manusia, agama menjadi Tuhan, idealis laksana panutan, dan jutaan keajaiban nampak satu persatu. Bumi sudah tua rentah. Bahkan untuk melewati waktu, mesti berakhir dengan materi yang berbentuk kertas lembaran.

Ruang dipinggir jalan seolah mengingatkan arti perjalanan ini, sebuah tanya yang berujung tanya, tanpa ada jawaban yang pasti. Seringkali terdengar teriakan dari letupan laras panjang disudut kota hitam, seringkali jalanan masih ramai dengan tangisan yang membuat lirih pendengarnya, dan jarang ditemukan sampah-sampah dari mulut berbisa. Bisa yang selama ini jadi raja bagi terciptanya peradaban kemunafikan.
Secarik kertas, lusuh, penuh lumut, yang berada di sela-sela bangku. Bangku yang selama ini menemani rasa lelah keringatku, bangku yang membangunkanku dari liang keangkuhan. Bangku berbentuk persegi panjang, yang luasnya hampir separuh ukuan panjang badanku.

Kuambil kertas lusuh itu, kutatap apa isi yang ada di dalamnya, dengan penuh hati-hati ku buka lembaran yang sudah bertahun-tahun berada di bangku ini. Jauh keluar dari dinamika pikiran ini, membayangkan bagaimana kertas ini dulu di buat, kertas yang terbuat dari serpihan-serpihan kayu hutan belantara.

Kertas terbuat dari sebuah kreatifitas tanpa batas, sampai manusia memanfaatkannya untuk mengitung keuntugan dari usahanya, ada juga yang dengan tulus ikhlas sang orang tua yang menginginkan kecerdasan anaknya dengan cara memberikan lembaran-lembaran kertas yang masuk di dalam buku.

Lamunanku tersentak kala kertas yang berada ditangan ini jatuh kelantai, sembari membungkukkan tulang belakang, dengan sedikit menurunkan kaki yang sudah lama berada di atas bangku ini, aku mencoba mengambil untaian kertas tadi. Kertas yang menjadi tanya bagi pikiran, kertas yang aku tidak pernah tahu apa isi yang terkandung di dalamnya, jika belum membukanya.

Kujulurkan tangan kotor ini untuk menggapai kertas tersebut, kupandang tangan ini ternyata sudah berkeriput, tangan ini tak seindah masa mudaku dulu. Lemas tak berotot, yang mencoba menggenapkan ruang jemari agar masih mampu menggapainya. Kuangkat secarik kertas ini, kertas yang tadinya sangat ringan, berubah menjadi beban yang kian menjadi-jadi, terasa berat, hingga menusuk ujung tulang belakang rapuhku.

Namun tetap ini hanya secarik kertas, “hanya segini saja aku tidak mampu,” lirihku dalam hati. Meski dengan susah payah beban yang berada dipundak untuk mengetahui apa isi dari kertas ini, aku sampai menghela nafas, dengan keingintahuan rasa penasaran, “ apa isi yang terkandung dari secarik kertas ini”.

Perlahan kupakai kaca mata tuaku, untuk melintasi dermaga putih lusuh di atas tanganku. Ku buka perlahan selayaknya pengantin baru yang menelanjangi sang pasangan. Kurantai jiwa egoku demi menggapai pikiran murni ketika membacanya. Kutatap kata-kata didalamnya, bait demi bait, paragraph demi paragraph, dan coretan demi coretan arti di dalamnya.

Mungkin surat cintaku dulu seperti ini, ketika kekasihku mengirimkan kepadaku melalui pak Pos. Pak Pos berseragam putih, yang selalu berteriak kala musim semi tiba. Mungkin aku sekarang akan bisa memahami dan menelaah isi tulisan ini, jika dulu aku mau belajar membaca.
By fauziing (cerpen kala senja)

23 August 2008

“ Menyerang atau diserang”, kera di Jawa Tengah

“Menyerang kera berarti harus siap diserang, membunuh kera berarti harus siap terbunuh”

Mungkin kata-kata di atas adalah gambaran monyet ekor panjang di Jawa Tengah. Masyarakat kita biasa menyebut monyet ekor panjang dengan kata “kera”, atau dalam bahasa ilmiah disebut Macaca fascicularis.

Di beberapa daerah di Jawa Tengah, kera tengah menyerang tanaman pertanian masyarakat. Penyerangan yang di lakukan oleh kera ini, banyak di akibatkan karena semakin berkuangnya habitat atau tempat tinggal kera.

“Kera disini semakin ganas” ujar salah satu petani sepakung kabupaten semarang, yang daerahnya terjadi penyerangan kera. Setelah penangkapan kera besar-besaran di daerah tersebut, kera bukannya takut atau berhenti menyerang dan merusak tanaman petani, akan tetapi membuat kera tersebut menyerang semakin ganas dan membabi buta.

Semula petani mengharapkan dilakukan penangkapan kera, dengan harapan kera tidak merusak tanaman petani. Namun yang terjadi justru malah sebaliknya, petani semakin rugi, karena petani harus lebih berjaga dari penyerangan kera.

Ini adalah bukti bahwa penangkapan, perburuan atau bahkan pembunuhan terhadap makhluk Tuhan secara berlebihan, tidak akan menyelesaikan masalah. Berbagi ruang alam, berbagi makanan dengan makhluk lain merupakan nilai-nilai luhur yang patut untuk kita pertahankan.Faz

28 July 2008

Kera Hijau dan Demam Berdarah Marburg

Tahun 1967, Tujuh dari 31 orang di Jerman dan Yugoslavia yang terserang demam berdarah, akhirnya meninggal dunia. Demam berdarah marburg, penyakit yang muncul pertama kali di kota Jerman yang bernama Marburg.

Penyakit demam berdarah marburg ini, awalnya menyerang dokter hewan dan teknisi laboratorium yang sedang menyiapkan biakan sel dari kera hijau Afrika (Cercopithecus aethiops). Sebanyak 25 orang yang bekerja di laboratorium tersebut, menderita sakit dengan gejala demam berdarah.

Sesudah temuan di Jerman dan Yugoslavia, penyakit marburg baru di temukan di Afrika, yakni di Johanesburg (1975), Uganda (1980), Kongo (1999), dan 56 meninggal dunia akibat dari penyakit marburg.

Kera hijau yang di peroleh dari Uganda- Afrika, di gunakan oleh peneliti untuk memproduksi vaksin polio manusia. Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau "liar".

Vaksin diciptakan karena adanya sebuah penyakit yang menjalar di masyarakat. Seperti diketahui, tahun 1971-1987 Uganda mengalami kerusakan hutan hampir 50% dari luasan wilayahnya, Hal ini tentu berdampak pada hilangnya habitat dari satwa. Hutan rimba memiliki jenis satwa yang membawa virus, tanpa satwa tersebut menunjukkan gejala penyakit.

Hal ini mengingatkan pada negara Indonesia yang kehilangan hutan, periode 1990 hingga 2001 laju deforestasi (penebangan hutan) mencapai dua juta hektare per tahun. Satwa yang seharusnya berada di hutan, kini harus rela berada di kandang-kandang besi, ada yang untuk kesenangan atau hobi, atau juga untuk penelitian biomedis.

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang sekarang digunakan untuk penelitian biomedis, penelitian yang di lakukan dalam usaha menciptakan vaksin. Monyet ekor panjang banyak di gunakan oleh peneliti, biasanya di tangkap dari hutan atau berasal dari tempat penangkaran. Selain jenis satwa ini belum dilindungi, satwa ini juga mudah untuk memperolehnya, dan entah apa yang akan di bawa virus pada monyet ekor panjang, seperti kera hijau yang membawa penyakit demam berdarah marburg.

Tentunya kita semua tidak mengiginkan virus yang seharusnya berada di hutan, telah berada di samping kita semua, dan Seharusnya bangsa ini banyak belajar dari sejarah...
(fauzi)